Dr. Afrizal El
Adzim Syahputra, Lc., MA
STIT Sunan Giri
Trenggalek
PKDP 2023 PTP
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Pendahuluan
Deradikalisasi
merupakan salah satu upaya untuk membendung berbagai faham radikal. Diantara
bentuk deradikalisasi adalah menghilangkan pemahaman radikal terhadap beberapa
ayat al-Qur’an. Pemahaman radikal ini muncul dilatarbelakangi oleh minimnya
pemahaman dan pengetahuan tentang ayat-ayat al-Qur’an. Jika dibiarkan,
pemahaman radikal ini akan berdampak pada hilangnya pemahaman yang moderat
terhadap al-Qur’an dan munculnya berbagai macam pertikaian dan permusuhan baik
antar suku maupun golongan. Kedua permasalahan ini sangat bertentangan dengan
konsep moderasi beragama. Selain itu, kedua permasalahan ini menjadi penghalang
untuk membumikan moderasi beragama, khususnya di tanah air tercinta, Indonesia.
Diantara ayat Al-Quran yang
disalahpahami oleh sebagian orang adalah ayat 29 Surah Al-Fath. Kesan pertama
orang yang membaca dan memahami ayat ini adalah sikap keras Nabi Muhammad SAW.
melawan orang-orang kafir. Dalam ayat ini seolah-olah Nabi saw. digambarkan
sebagai seorang utusan yang tidak menyukai orang-orang kafir. Gambaran inilah
yang kemudian dijadikan rujukan beberapa komunitas sesuai pandangan dan
pemahamannya. Hal ini berimplikasi pada munculnya tindakan radikal dan
ekstremis terhadap non-Muslim. Dalam konteks Indonesia, ada beberapa cuitan
netizen di Twitter yang masih belum sepenuhnya memahami kalimat tersebut. Salah
satunya adalah komentar akun @musyhad
pada 12 April 2022 yang menyatakan “yang
diharamkan adalah toleransi terhadap orang kafir.” Nabi Muhammad SAW penuh
kasih sayang terhadap umat Islam dan keras serta kasar terhadap orang-orang
yang tidak beriman.”
Pendapat akun @musyhad ini memberikan kesan bahwa seakan Rasul Saw.
selalu bersikap keras dan tegas kepada orang-orang kafir. Contoh yang lain
adalah komentar dari akun @Doni13587681 pada tanggal 17 Juni 2022 yang
berpendapat bahwa “ciri-ciri pengikut Rasul Saw. adalah berkasih sayang kepada
sesama orang beriman dan keras kepada kekafiran. Selain yang memenuhi ciri di
atas hanya golongan orang kafir. Pendapat akun @Doni13587681 sangat berbahaya
jika dikonsumsi oleh orang awam yang kurang mengetahui penjelasan ayat
al-Qur’an.
Berdasarkan hal ini, deradikalisasi pemahaman surah Al-Fath ayat 29 sangat dibutuhkan sebagai upaya mencegah pemahaman radikal terhadap ayat al-Qur’an, khususnya bagi para juru dakwah yang beberapa kali mengutip dan menjelaskan ayat-al-Qur’an. Sebab, terkadang terdapat juru dakwah yang keliru dalam memahami beberapa ayat al-Qur’an. Kekeliuran ini berdampaka pada munculnya faham radikal dan sangat berbahaya jika dikonsumsi langsung oleh masyarakat awam. Penulis berharap dengan tulisan ini dapat memberikan wawasan pemahaman yang lebih komprehensif tentang surah Al-Fath ayat 29, sehingga dapat meminimalisir faham-faham radikal, khususnya berbagai faham radikal yang berkembang di Indonesia.
Pembahasan
Firman Allah Swt Dalam
QS. Al-Fath : 29 :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدّاءُ
عَلَى الْكُفّارِ رُحَماءُ بَيْنَهُمْ تَراهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ
فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْواناً سِيماهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
ذلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْراةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوى عَلى سُوقِهِ يُعْجِبُ
الزُّرّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصّالِحاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً
“Muhammad adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud
mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda
bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang
mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan
tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya
karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan
orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.”
Jika
ayat ini hanya dipahami sekilas, maka akan menimbulkan kesan bahwa Rasul Saw.
adalah utusan yang selalu bersikap keras dan kasar terhadap orang-orang kafir.
Jika demikian, maka akan muncul pandangan bahwa orang-orang mukmin pun juga
harus bersikap kasar dan keras di hadapan orang-orang non muslim. Ayat ini
sering digunakan sebagai legitimasi dan bahan bakar untuk bersikap keras dan
membenci orang-orang yang berbeda agama, meskipun mereka tidak pernah melakukan
gangguan kepada orang-orang muslim. Karena itu, ayat ini perlu dikaji dari
berbagai aspek agar tidak dipahami secara radikal.
Secara
umum, ayat ini hendak menjelaskan bahwa Rasul saw. beserta para sahabatnya
bersifat tegas terhadap orang-orang kafir dan lemah lembut terhadap orang-orang
mukmin. Diantara orang-orang muslim tersebut terdapat orang-orang yang taat
beribadah, yang perumpamaannya disebutkan di dalam kitab Taurat dan Injil. Ayat
ini merupakan penjelasan lanjutan dari ayat sebelumnya, yang mengisahkan
tentang ajaran yang dibawa oleh Nabi saw. sebagai ajaran yang benar dan
merupakan petunjuk bagi umat manusia.
Kata
yang menjadi sorotan penulis dalam ayat ini adalah kata As Shidda’ yang
memiliki akar kata “al-shiddah”. Ibnu Mandzur
berpendapat bahwa kata “al-shiddah” tidak selalu identik dengan kekerasan. Kata
ini berbeda dengan kata “al-‘unf” yang secara semantik mempunyai arti kekerasan
secara fisik. Kata “al-shiddah” bisa diartikan dengan “mempunyai jiwa
keberanian dan keteguhan hati”. Artinya, tindakan yang dilakukan terukur dan
mempertimbangkan aspek kemudaratan dan kemaslahatan. Substansi dari kata “al-shiddah”
dalam QS. Al-Fath} : 29 ini adalah potensi yang di dalamnya terdapat keberanian
dan keteguhan hati untuk melawan musuh yang menebarkan kezaliman. Dan kata ini
tidak bisa dibatasi hanya pada makna kekerasan yang dilakukan secara
serampangan dan semena-mena.
Sementara itu, Imam al-Kha>zin, dalam kitab tafsirnya
menjelaskan konteks historis ayat ini. Beliau berpendapat bahwa QS. Al-Fath} :
29 ini diturunkan pada saat Rasul saw.
akan melakukan ibadah haji, lalu dihalang-halangi oleh kelompok kafir Quraisy.
Dengan kata lain, ayat ini diturunkan dalam kondisi yang tidak aman. Ada
penyerangan dari orang kafir kepada beliau saw. dan umat Islam, saat mereka
akan melaksanakan ibadah. Beliau saw. dan para sahabat merespons serangan
mereka untuk menjaga diri agar tidak hanya diam saat menghadapi serangan orang
kafir. Berdasarkan kejadian ini, maka terciptalah “sulh hudaibiyah” (perjanjian
damai hudaibiyah).
Ayat ini turun pada saat suasana yang memanas antara pihak muslim
dan non muslim. Pihak non muslim bersikeras menghalang-halangi pihak muslim
agar tidak memasuki kota Mekah untuk melaksanakan ibadah. Situasi ini
mengharuskan pihak muslim untuk bersikap tegas dan keras terhadap non muslim
sebagai upaya untuk mempertahankan diri, menjaga kelangsungan hidup mereka dan
menjaga marwah dan kehormatan umat Islam agar tidak mudah diinjak-injak oleh
orang-orang non muslim. Orang-orang muslim tidak memiliki cara lain selain
bersikap demikian terhadap non muslim. Maka, dalam ayat ini, wajar jika sikap
orang-orang muslim diungkapkan dengan kata “al-shidda>’ ‘ala>
al-Kuffa>r”.
Memang, ayat ini menunjukkan salah satu kekuatan tentara muslim
pada saat mereka berada di medan perang. Kendatipun demikian, tidak berarti
sikap tersebut telah menghapuskan karakter perdamaian dalam tubuh umat Islam.
Salah satu sosok yang bisa dijadikan teladan adalah Umar bin Al-Khattab. Beliau
merupakan sosok sahabat yang gigih di medan perang, tetapi juga menjadi seorang
sahabat dan khalifah yang gigih memperjuangkan perdamaian dan kemaslahatan.
Terdapat fakta menarik
yang perlu diketahui mengenai sikap Rasul saw. dalam merespon ayat 29 dalam
surah al-Fath. Ketika ayat ini diturunkan, Beliau saw. secara bersamaan juga
sedang berupaya melakukan perdamaian dengan para pembesar kafir Quraisy melalui
perjanjian damai (suluh) Hudaibiyah. Bahkan, sikap keras dan kaku dalam
menghadapi mereka tidak terlihat dari beliau saw. Ketika beliau saw. mampu
melakukan pembalasan atas kezaliman mereka yang pernah menghalang-halangi
beliau saw. untuk melaksanakan ibadah itu, beliau tidak berminat membalas
sedikit pun. Beliau saw. justru menampakkan akhlaknya yang mulia. Peristiwa ini
terjadi saat pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah).
Menurut Zuhairi Misrawi,
setidaknya ada banyak hal yang dapat dipetik dari ayat ini. Pertama, Tuhan
menggunakan dua istilah yang satu sama lain merupakan sebuah kesatuan untuk
membangun keseimbangan, yaitu tegas (asyidda’) dan lemah lembut (ruhama’). Tegas
terhadap lawan dan lemah lembut terhadap kawan. Maka, ayat ini bisa dijadikan
sebagai salah satu modal untuk membangun toleransi di dalam internal agama.
Tidak mungkin toleransi dapat dibangun di dalam internal agama jika tidak
menggunakan mekanisme solidaritas dan kerukunan yang semestinya.
Kedua, tegas terhadap
musuh tidak bertentangan dengan makna dan substansi toleransi. Ayat ini secara
nyata menjelaskan bahwa sikap Rasul saw. dan para sahabatnya terhadap musuh
bukanlah merupakan hal baru. Dalam beberapa agama terdahulu (misal ; Kristen
dan Yahudi), sikap tegas merupakan hal yang juga dipraktikkan. Sebab semua
agama memiliki tujuan melawan ketidakadilan, kezaliman dan keditaktoran. Dan
sudah bisa dipastikan bahwa kezaliman, ketidakadilan dan keditaktoran merupakan
pangkal dari perselisihan dan konflik. Karena itu, ayat ini mengajak kita agar
gigih melawan musuh yang berbuat zalim agar tidak ada kezaliman di bumi
ini.
Ketiga, ayat ini mengajak kita agar konsisten dalam menegakkan iman dan amal saleh, sebagai sebuah komitmen kebangsaan. Pesan ini merupakan penutup ayat yang paling penting, sebab iman dan amal saleh merupakan ajaran terpenting dalam Islam. Di samping pesan yang secara ekplisit bernuansa perlawanan dan kekerasan, pada akhirnya Tuhan mengingatkan kita semua agar kembali ke khittah, yaitu membangun keberagaman yang berlandaskan iman dan amal saleh. Pada akhir ayat ini disebutkan bahwa “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar”.
Kesimpulan dan Penutup
Al-