Jumat, 07 September 2012

Deislamisasi Sejarah Indonesia

         JAS MERAH ( Jangan Sampai Melupakan Sejarah ), mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk memberikan semangat kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat islam untuk mempelajari kembali sejarah Indonesia. Apalagi jika kita lihat beberapa LKS yang merupakan standar kurikulum pendidikan di Indonesia tidak terlepas oleh beberapa rekayasa politik, salah satunya adalah pemakaman Soekarno yang ada di Blitar adalah sesuai dengan kemauannya sendiri. Padahal, keluarga semua tahu kalau Soekarno ingin dikuburkan di Bogor, sesuai wasiatnya. Hal itu berdasarkan keputusan Presiden RI No 44/1970, tertanggal 21 Juni 1970. Keputusan tersebut diambil setelah Presiden Soeharto berkonsultasi dengan berbagai tokoh masyarakat. Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan bahwa sebelum memutuskan tempat pemakaman Seokarno, ia mengundang pemimpin partai. Di sini jelas bahwa pemakaman Bung Karno tidak ditentukan keluarga, tetapi melalui pertimbangan politik



           Kemudian pada bulan april 2012 ada sebuah berita yang menghebohkan, yaitu beredarnya LKS yang berisi faham komunis di Sukabumi. Dalam LKS tersebut disebutkan satu pertanyaan yaitu ‘Indonesia mengembangkan sendiri ideologi yang dinilai tepat dengan kondisi bangsa Indonesia yang dinamakan? Ironisnya, dalam buku pegangan guru jawabannya adalah komunis bukan pancasila. Hal semacam inilah perbuatan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam upaya mereka mengkaburkan kemurnian sejarah Indonesia, serta memberikan ideologi yang tidak sesuai dengan masyarakat.

            Hal yang perlu dianalisis lagi adalah penyimpangan penulisan sejarah Indonesia di berbagai tempat. Dengan adanya upaya deislamisasi sejarah Indonesia, peran ulama’ dan santri ditiadakan atau tetap ada akan tetapi dimaknai dengan pengertian yang lain. Dalam hal ini orientalis barat memiliki peran yang sangat besar dalam penyimpangan penulisan sejarah Indonesia. Mereka berpendapat bahwa kehadiran Islam di tengah-tengah bangsa dan Negara Indonesia dinilai mendatangkan perpecahan, karena Islam dinilai banyak menimbulkan kekuasaan politik atau kesultanan yang tersebar di seluruh Nusantara. Akan tetapi apa yang dituliskan oleh kaum orientalis hanyalah rasa benci mereka terhadap umat islam, sebab pelopor perlawanan terhadap penjajah barat di Indonesia adalah para ulama’ islam, sehingga interprestasi orientalis dan imperialis barat selalu memuji kerajaan Hindu-Buddha dan mendiskridikan Islam. Dalam sejarah, ulama’ dan santri di Indonesia sebagai pelopor pergerakan perlawanan terhadap imperialisme. Ironisnya, peran ulama’ dan santri dalam sejarah Indonesia sebagai pembangkit kesadaran nasional ternyata tidak ditulis, padahal mereka adalah kelompok cendikiawan muslim yang memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

             Fakta sejarah membuktikan bahwa teks Proklamasi dituliskan oleh Proklamator dan diketik oleh Sayuti Melik serta ditandatangani kedua Proklamator pada waktu makan sahur. Kemudian teks Proklamsi dibacakan pada saat Soekarno menjalankan ibadah puasa. Ini membuktikan bahwa umat islam sangat menjiwai terhadap kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 9 Ramdhan 1364.

            Lalu sidang panitia kecil dengan julukan “panitia Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945 dalam merumuskan Piagam Jakarta tidak luput dari golongan santri, diantaranya adalah KH. Wahid Hasyim yang tidak lain adalah ulama’ yang namanya tidak asing lagi di kalangan nahdiyin. Isi piagam Jakarta adalah lima ideologi Pancasila seperti yang  kita kenal sekarang. Akan tetapi pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD 45.

           Menurut Prof. M. Maksum Mahfud, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sempat bingung karena tokoh nonmuslim dari Timur keberatan atas tujuh kata dalam Pancasila sila pertama  yaitu dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Di sisi lain, tokoh muslim bersikeras untuk mempertahankan tujuh kata itu. Lalu siapakah yang mengambil jalan tengahnya ? ternyata beliau adalah KH Wahid Hasyim. Beliau mengatakan bahwa untuk menghargai pendapat teman-teman dari nonmuslim saya setuju tujuh kata itu dihilangakan. Beliau menyampaikan pesan-pesan dari ayahandanya, yaitu KH. Hasyim Asyari,  bahwa kondisi sosial politik bangsa Indonesia ketika itu persis dengan kondisi Madinah pada masa Rasulullah. Karena itulah, ideologi negara yang tercantum dalam Piagam Madinah layak untuk dijadikan contoh dalam merumuskan ideologi negara Indonesia. Akhirnya pendapat beliau disetujui oleh kedua belah pihak.  Secara tidak langsung, KH. Hasyim Asy’ari adalah dalang di balik tercetusnya ideologi negara Indonesia, dan berkat gagasannya itu pertentangan ideologi dapat diredakan.

           Dalam pembukaan UUD 1945 ada pernyataan "atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa” merupakan rasa syukur yang sangat mendalam atas terciptanya kemerdekaan Indonesia.  hal ini membuktikan bahwa dalam merumuskan UUD 45 adanya wujud pengakuan tentang kekuasaan Allah swt, sebab kemerdekaan Indonesia bukanlah hanya hasil perjuangan para pahlawan, akan tetapi juga merupakan suatu rahmat dari Allah swt yang diberikan kepada hamba-hambanya.

           Ulama’ MUI juga perlu kiranya mempertimbangkan kembali keputusan kabinet Hatta, 1948 M, tentang 20 Mei sebagai  Hari Kebangkitan Nasional. Hari pendidikan Nasional  (Hardiknas), pun diperingati setiap 2 Mei, kabarnya diambil dari hari lahir Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa, 1922 M, yang pada awalnya merupakan perkumpulan Kebatinan Seloso Kliwon. Kalau ini benar, mengapa bukan hari lahir K.H. Achmad Dachlan pendiri Perserikatan Muhammadiyah, 18 November 1912 M, sepuluh tahun lebih awal dari Taman Siswo, 1922 M, dan pengaruhnya jauh lebih meluas di seluruh kota Nusantara. Akibat deislamisasi penentuan Hardiknas, menjadikan K.H. Ahmad Dahlan, dan Perserikatan Muhammadiyah tidak terpilih sebagai pelopor pendidikan nasional.

        Beberapa pesantren di Indonesia ternyata juga memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. Pada masa penjajahan belanda pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah, pesantren harus berhadapan dengan dengan Belanda yg sangat membatasi ruang gerak pesantren dikarenakan kekuatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka. Sebagai respon atas penindasan belanda, kaum santri pun mengadakan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara 1820-1880, telah terjadi pemberontakan besar kaum santri di indonesia yaitu :

1. Pemberontakan kaum padri di sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol

2. Pemberontakan Diponegoro di Jawa

3. Pemberontakan Banten akibat aksi tanam paksa yg dilakukan belanda

4. Pemberontakan di Aceh yg dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Ciktidiro

     Ironisnya, beberapa orang meragukan keberadaan walisongo sebagai pelopor berdirinya pesantren-pesantren di Indonesia dengan berbagai alasan, salah satunya adalah para walisongo tidak memiliki kitab keilmuwan sebagaimana ulama’-ulama’ terdahulu. Ada lagi yang mengatakan bahwa walisongo hanyalah mitos atau dongeng orang-orang dulu. Munculnya pendapat miring mereka tentang keberadaan walisongo adalah kurangnya perhatian umat islam di Indonesia dalam memaparkan sejarahnya, bahkan Dalam Ensklopedia Islam sebanyak tujuh jilid, tidak ada informasi mengenai Wali Songo. Apalagi dengan buku yang berjudul Walisomgo tak Pernah Ada karya Sjamsudduha menambah keraguan masyarakat awam dalam meyakini keberadaan Walisongo. Jika hal ini terus dibiarkan, dalam 20 tahun ke depan, Wali Songo akan tersingkir dari percaturan akademis keagamaan sehingga memudahkan dalam rekayasa sejarah walisongo. Untuk itulah Agus Sunyotos (wakil ketua LESBUMI) menerbitkan buku  Atlas Wali Songo, yang bertujuan untuk mengangkat kembali sejarah walisongo serta meluruskan pemahaman yang keliru tentang sejarah penyebaran islam oleh walisongo, sebab Wali Songo lebih banyak diketahui sebagai cerita lisan berdasarkan sumber yang tidak dapat dikonfirmasi, sehingga tingkat validitasnya rendah.

            Dengan melihat kondisi sejarah yang carut marut seperti yang terjadi saat ini, selayaknya bagi cendekiawn cendekiawan Indonesia, khsusunya yang beragama Islam untuk meneliti kembali penulisan sejarah. Apalagi peran para alumnus pesantren dalam mempelopori kemerdekaan Indonesia sangatlah minim dituliskan dalam kurikulum pengajaran sejarah di berbagai madrasah, terlebih dalam kalangan pesantren saat ini. Hal ini perlu dijadikan semacam kurikulum di beberapa pesantren supaya para santri tahu bahwa dalam mempelopori kemerdekaan Indonesia tidak hanya dari golongan nasionalis, akan tetapi juga didukung oleh golongan santri, sehingga akan menumbuhkan kembali rasa nasionalis mereka, sebab dalam pembukaan UUD 45 terdapat kalimat atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa yang merupakan rasa syukur atas terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Ini membuktikan bahwa dalam merumuskan UUD 45 masih adanya wujud pengakuan tentang kekuasaan Allah swt, sebab kemerdekaan Indonesia bukanlah hanya hasil perjuangan para pahlawan, akan tetapi juga merupakan suatu rahmat dari Allah swt yang diberikan kepada hamba-hambanya.

       Begitu pula dengan walisongo yang menjadi pelopor berdirinya pesantren jarang sekali dituliskan dalam sebuah buku sehingga menjadi kurikulum bagi pesantren ataupun sekolah lain. Masih banyak santri yang minim pengetahuan akan sejarah walisongo sebagai pembawa Islam di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa. Sangat disayangakan apabila umat islam yang ada di Indonesia kurang terlalu faham dengan sejarah masuknya islam yang dibawa oleh walisongo, bagaimana mungkin umat islam di Indonesia bisa maju apabila mereka masih minim pengetahuannnya tentang penyebaran islam di Indonesia, sebab dengan mengetahui sejarah penyebaran islam di Indonesia kita akan tahu bagaimana cara berdakwah yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar